Transformasi jaman adalah fenomena yang
tidak bisa dihindari dari masa-kemasa Salah satu bukti adanya transformasi
adalah globalisasi, dimana negara-negara di dunia tanpa lekang batas dan waktu
saling berpadu, berkembang, dan senantiasa berubah. Jaman memang dinamis, akan
tetapi ada suatu persoalan yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi
pekerjaan rumah bagi politikus, ahli hukum, pakar ekonomi maupun tetua adat.
Adapun persoalan yang dimaksut adalah ketidakadilan gender.
Tuntutan akan adanya ketidakadilan
gernder ini memang bukan isu baru, melihat sejarah tuntutan ini sudah ada
bahkan sejak awal mula indonesia masih disebut nusantara. Meskipun demikian, ketidakadilan
gender seudah disosialisasikan ke banyak negara di dunia salah satunya
Indonesia. Akan tetapi masih jauh dikatakan dari istilah berhasil. Masyarakat
masih banyak menganggap kalau tatanan yang berlaku turun-menurun ini sudah
benar adanya.
Disinilah tantangan tersendiri bagi
usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender, khususnya di era globalisasi ini.
Masih banyak sekali bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di
indonesia. Secara umum bentuk ketidakadilan gender disini adalah adanya kesalah
pahaman tentang perbedaan, karakter, peran, posisi hingga posisi antara
laki-laki dan perempuan yang berdampak buruk terutama bagi kaum perempuan.
Laki-laki dan perempuan dilahirkan di
dunia sudah mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami
atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan sosial, adat, agama
dari masyarakat dimana mereka huni, Berpijak pada analisis gender yang
bertujuan untuk menjelaskan bahwa ketidakadilan disini benar-benar ada.
Pusat
komunikasi dan informasi perempuan. Kalyanamitra mengungkapkan, berbagai
kebijakan belum dilaksanakan secara maksimal dalam hidup bermasyarakat di
indonesia. Antara laki-laki dan perempuan belum menunjukan persamaan dan
keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari pembangunan.
“Berbagai
persoalan ketidakadilan gender masih banyak terjadi seperti tingginya angka
kematian ibu, praktek perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap perempuan,
rendahnya partisipasi perempuan dalam politik & lainnya. Kata ketua
Kalyanamitra Listyowati pada wartawan di gedung DPR RI , senin (15/01/2015)
kompasiana.com .
Hal
semacam ini memang tidak aneh terjadi, Penyebabnya adalah salah satunya karena
masyarakat masih sangat kental/kuatnya akan budaya patriarki dalam pola pikir,
pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pembuatan kebijakan atau
produk hukum yang lalu masih mendiskriminasikan perempuan.
Mengatasi
berbagai persoalan ketidakadilan gender di indonesia, maka perlu Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang kesetaraan dan keadilan gender (RUUKKG)
RUU ini sempat gencar disuarakan pada
periode lalu (2009-2014) dan sempat diusulkan atau dikonsultasikan dengan
stakeholder dan studi banding ke beberapa negara, sehingga sangat disayangkan
jika pembahasan RUU ini tidak dilanjutkan dan dituntaskan pada periode DPR RI
sekarang.
Globalisasi memang merupakan tantangan
tersendiri bagi usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender. Televisi adalah
bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut, dimana televisi seakan menjadi
transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang berlebihan adalah
sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang mengakibatkan ASI
dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak padahal sebaliknya.
Contoh lain adalah iklan yang menampilkan gambar-gambar perempuan yang vulgar.
Gambar-gambar tersebut merupakan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Deskriminasi terhadap kaum perempuan
bukan hanya didapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya sastra
juga banyak digambarkan tentang kehidupan perempuan yang menderita atau yang
berperan sebagai minoritas penderita. Endraswara (2008:114) mengatakan
perempuan dimata laki-laki hanya sekedar objek. Konsep ini telah membelenggu
sehingga mendorong perempuan pada keterprukan nasip.
Dalam
Endraswara juga disebutkan bahwa dimana masyarakat timur menganut sistem
patriarki., yaitu sistem hubungan keturunan melaui atau mementingan kaum
laki-laki. Hal ini juga didukung oleh data survey BPS tahun 2012, disebutkan
bahwa tatanan masyarakat didominasi oleh laki-laki hingga 2 kali lipat jumlah
perempuan padahal jumlah penduduk seimbang antara laki-laki dengan perempuan
yaitu 51% untuk perempuan dan 49% untuk laki-laki.
Hal
semacam ini tidak lepas dari campur tangan media masa yang selalu memojokan kaum perempuan, mulai
dari berita, film, iklan, hingga di belakangnya layar. Padahal sadar tidak
sadar, media masa-lah yang paling penting dalam proses sosialisai, sehingga
akan sangat mustahil tercipta keadilan gender jika media masa di indonesia
masih melakukan hal-hal semacam ini.
Sebelum
budaya ini dirubah hal yang pertama dirubah adalah politik, kemudian hukum,
kemudian ekonomi yang terkait gender, dengan penataan ururtan yang jelas dan
teratur barulah kemudian bisa dimungkinkan untuk merubah budaya ketidakadilan
gender ini.
Berkaitan
dengan kasus diatas bisa dilihat dalam prespektif sosiologis sudut pandang
teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan
sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang
berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing
– masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi
perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori –
teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim,
serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony
Giddens.
Di awal – awal kelahiran teori
fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi
ilmiah, dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia,
hingga lahirlah ilmu sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme
mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan manusia
dalam struturasi organisme. Spencer
menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidakberesan’ atau ‘sakit’,
maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang sama
terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu atau dua
individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan
sangat menganggu sistem kehidupan.
Dengan demikian ketidakadilan gender ini
memang diperluan sebagai suatu sistem dalam sebuah struktur sosial yang apabila
jia tidak ada akan merusak struktur sosial yang ada dimasyarakat. Terlepas dari
pro dan kontra yang melekat pada kasus ini adalah bagaimana menyeimbangkan
kedua komponen dalam ketidakadilan yang ada.
Daftar Pustaka :
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta : Pustaka WI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar