Senin, 02 November 2015

KOMENTAR AHLI TENTANG POLITIK GENDER DI INDONESIA

Transformasi jaman adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dari masa-kemasa Salah satu bukti adanya transformasi adalah globalisasi, dimana negara-negara di dunia tanpa lekang batas dan waktu saling berpadu, berkembang, dan senantiasa berubah. Jaman memang dinamis, akan tetapi ada suatu persoalan yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi politikus, ahli hukum, pakar ekonomi maupun tetua adat. Adapun persoalan yang dimaksut adalah ketidakadilan gender.
Tuntutan akan adanya ketidakadilan gernder ini memang bukan isu baru, melihat sejarah tuntutan ini sudah ada bahkan sejak awal mula indonesia masih disebut nusantara. Meskipun demikian, ketidakadilan gender seudah disosialisasikan ke banyak negara di dunia salah satunya Indonesia. Akan tetapi masih jauh dikatakan dari istilah berhasil. Masyarakat masih banyak menganggap kalau tatanan yang berlaku turun-menurun ini sudah benar adanya.
Disinilah tantangan tersendiri bagi usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender, khususnya di era globalisasi ini. Masih banyak sekali bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di indonesia. Secara umum bentuk ketidakadilan gender disini adalah adanya kesalah pahaman tentang perbedaan, karakter, peran, posisi hingga posisi antara laki-laki dan perempuan yang berdampak buruk terutama bagi kaum perempuan.
Laki-laki dan perempuan dilahirkan di dunia sudah mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan sosial, adat, agama dari masyarakat dimana mereka huni, Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa ketidakadilan disini benar-benar ada.
            Pusat komunikasi dan informasi perempuan. Kalyanamitra mengungkapkan, berbagai kebijakan belum dilaksanakan secara maksimal dalam hidup bermasyarakat di indonesia. Antara laki-laki dan perempuan belum menunjukan persamaan dan keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari pembangunan.
            “Berbagai persoalan ketidakadilan gender masih banyak terjadi seperti tingginya angka kematian ibu, praktek perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap perempuan, rendahnya partisipasi perempuan dalam politik & lainnya. Kata ketua Kalyanamitra Listyowati pada wartawan di gedung DPR RI , senin (15/01/2015) kompasiana.com .
            Hal semacam ini memang tidak aneh terjadi, Penyebabnya adalah salah satunya karena masyarakat masih sangat kental/kuatnya akan budaya patriarki dalam pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pembuatan kebijakan atau produk hukum yang lalu masih mendiskriminasikan perempuan.
            Mengatasi berbagai persoalan ketidakadilan gender di indonesia, maka perlu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kesetaraan dan keadilan gender (RUUKKG)
RUU ini sempat gencar disuarakan pada periode lalu (2009-2014) dan sempat diusulkan atau dikonsultasikan dengan stakeholder dan studi banding ke beberapa negara, sehingga sangat disayangkan jika pembahasan RUU ini tidak dilanjutkan dan dituntaskan pada periode DPR RI sekarang.
Globalisasi memang merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut, dimana televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak padahal sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang menampilkan gambar-gambar perempuan yang vulgar. Gambar-gambar tersebut merupakan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Deskriminasi terhadap kaum perempuan bukan hanya didapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya sastra juga banyak digambarkan tentang kehidupan perempuan yang menderita atau yang berperan sebagai minoritas penderita. Endraswara (2008:114) mengatakan perempuan dimata laki-laki hanya sekedar objek. Konsep ini telah membelenggu sehingga mendorong perempuan pada keterprukan nasip.
            Dalam Endraswara juga disebutkan bahwa dimana masyarakat timur menganut sistem patriarki., yaitu sistem hubungan keturunan melaui atau mementingan kaum laki-laki. Hal ini juga didukung oleh data survey BPS tahun 2012, disebutkan bahwa tatanan masyarakat didominasi oleh laki-laki hingga 2 kali lipat jumlah perempuan padahal jumlah penduduk seimbang antara laki-laki dengan perempuan yaitu 51% untuk perempuan dan 49% untuk laki-laki.
            Hal semacam ini tidak lepas dari campur tangan media masa  yang selalu memojokan kaum perempuan, mulai dari berita, film, iklan, hingga di belakangnya layar. Padahal sadar tidak sadar, media masa-lah yang paling penting dalam proses sosialisai, sehingga akan sangat mustahil tercipta keadilan gender jika media masa di indonesia masih melakukan hal-hal semacam ini.
            Sebelum budaya ini dirubah hal yang pertama dirubah adalah politik, kemudian hukum, kemudian ekonomi yang terkait gender, dengan penataan ururtan yang jelas dan teratur barulah kemudian bisa dimungkinkan untuk merubah budaya ketidakadilan gender ini.
            Berkaitan dengan kasus diatas bisa dilihat dalam prespektif sosiologis sudut pandang teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing – masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori – teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim, serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony Giddens.
Di awal – awal kelahiran teori fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi ilmiah, dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam struturasi organisme. Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidakberesan’ atau ‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Dengan demikian ketidakadilan gender ini memang diperluan sebagai suatu sistem dalam sebuah struktur sosial yang apabila jia tidak ada akan merusak struktur sosial yang ada dimasyarakat. Terlepas dari pro dan kontra yang melekat pada kasus ini adalah bagaimana menyeimbangkan kedua komponen dalam ketidakadilan yang ada.


Daftar Pustaka :

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka WI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar