Senin, 02 November 2015

Nawa Cita

Berikut inti dari sembilan program tersebut yang disarikan dari situs www.kpu.go.id:

1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 

4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.

5.Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019.

6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya.

7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Rayuan Gelisah Politik Bangsa

Akankah kita tertidur dalam gejolak politik yang sangat mencekik
Alam yang tidak bersalah menjadi rusak karena kepentingan
Pegunungan menjadi hujan asap, air menjadi darah, udara menjadi pembunuh
Negara akan hancur dilanda bencana akibat orang yg tidak bertanggung jawab
Hukum sebagai senjata justice dalam kebenaran
Ternyata telah tenggelam tertelan ombak bencana karena gejolak politik
Peraturan yang dibuat hanya sekedar sebagai kaca mata hitam dalam kehidupan
Penegak hukum hanya sekedar berseragam rapi bukan sebagai orang penegak
Lalu dimanakah pemuda bangsa ini?
Akankah mereka tertidur terlelap dalam kasur berlapis tebal
Pemuda harapan bangsa ternyata mengelamkan bangsa ini
Pemuda bukanlah pembaharu bangsa melainkan pembaharuan budaya barat
Pemuda yang tidak bermoral dan beretika,
Mampu merobohkan pondasi negara yang dulu berjuangan dengan cucuran darah
Bangsa ini telah merindukan pemuda yang mempu menghantam gelombang perenggut bangsa
Wahai pemuda pejuang bangsa, bersatulah segera sebagai pembaharuan
Bangunlah jembatan emas yang diharapkan The Founding Father kita

Merdeka..!!!

KOMENTAR AHLI TENTANG POLITIK GENDER DI INDONESIA

Transformasi jaman adalah fenomena yang tidak bisa dihindari dari masa-kemasa Salah satu bukti adanya transformasi adalah globalisasi, dimana negara-negara di dunia tanpa lekang batas dan waktu saling berpadu, berkembang, dan senantiasa berubah. Jaman memang dinamis, akan tetapi ada suatu persoalan yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi pekerjaan rumah bagi politikus, ahli hukum, pakar ekonomi maupun tetua adat. Adapun persoalan yang dimaksut adalah ketidakadilan gender.
Tuntutan akan adanya ketidakadilan gernder ini memang bukan isu baru, melihat sejarah tuntutan ini sudah ada bahkan sejak awal mula indonesia masih disebut nusantara. Meskipun demikian, ketidakadilan gender seudah disosialisasikan ke banyak negara di dunia salah satunya Indonesia. Akan tetapi masih jauh dikatakan dari istilah berhasil. Masyarakat masih banyak menganggap kalau tatanan yang berlaku turun-menurun ini sudah benar adanya.
Disinilah tantangan tersendiri bagi usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender, khususnya di era globalisasi ini. Masih banyak sekali bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang terjadi di indonesia. Secara umum bentuk ketidakadilan gender disini adalah adanya kesalah pahaman tentang perbedaan, karakter, peran, posisi hingga posisi antara laki-laki dan perempuan yang berdampak buruk terutama bagi kaum perempuan.
Laki-laki dan perempuan dilahirkan di dunia sudah mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan sosial, adat, agama dari masyarakat dimana mereka huni, Berpijak pada analisis gender yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa ketidakadilan disini benar-benar ada.
            Pusat komunikasi dan informasi perempuan. Kalyanamitra mengungkapkan, berbagai kebijakan belum dilaksanakan secara maksimal dalam hidup bermasyarakat di indonesia. Antara laki-laki dan perempuan belum menunjukan persamaan dan keadilan dalam memperoleh manfaat yang sama dan adil dari pembangunan.
            “Berbagai persoalan ketidakadilan gender masih banyak terjadi seperti tingginya angka kematian ibu, praktek perkawinan anak, kasus kekerasan terhadap perempuan, rendahnya partisipasi perempuan dalam politik & lainnya. Kata ketua Kalyanamitra Listyowati pada wartawan di gedung DPR RI , senin (15/01/2015) kompasiana.com .
            Hal semacam ini memang tidak aneh terjadi, Penyebabnya adalah salah satunya karena masyarakat masih sangat kental/kuatnya akan budaya patriarki dalam pola pikir, pola perilaku, dan pengambilan keputusan termasuk pembuatan kebijakan atau produk hukum yang lalu masih mendiskriminasikan perempuan.
            Mengatasi berbagai persoalan ketidakadilan gender di indonesia, maka perlu Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kesetaraan dan keadilan gender (RUUKKG)
RUU ini sempat gencar disuarakan pada periode lalu (2009-2014) dan sempat diusulkan atau dikonsultasikan dengan stakeholder dan studi banding ke beberapa negara, sehingga sangat disayangkan jika pembahasan RUU ini tidak dilanjutkan dan dituntaskan pada periode DPR RI sekarang.
Globalisasi memang merupakan tantangan tersendiri bagi usaha untuk meniadakan ketidakadilan gender. Televisi adalah bentuk nyata dari arus globalisasi tersebut, dimana televisi seakan menjadi transformasi nilai. Penayangan iklan-iklan tertentu yang berlebihan adalah sumber pemicunya. Contoh nyata adalah iklan produk susu yang mengakibatkan ASI dipandang tidak begitu penting dalam perkembangan anak padahal sebaliknya. Contoh lain adalah iklan yang menampilkan gambar-gambar perempuan yang vulgar. Gambar-gambar tersebut merupakan pelecehan seksual terhadap perempuan.
Deskriminasi terhadap kaum perempuan bukan hanya didapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya sastra juga banyak digambarkan tentang kehidupan perempuan yang menderita atau yang berperan sebagai minoritas penderita. Endraswara (2008:114) mengatakan perempuan dimata laki-laki hanya sekedar objek. Konsep ini telah membelenggu sehingga mendorong perempuan pada keterprukan nasip.
            Dalam Endraswara juga disebutkan bahwa dimana masyarakat timur menganut sistem patriarki., yaitu sistem hubungan keturunan melaui atau mementingan kaum laki-laki. Hal ini juga didukung oleh data survey BPS tahun 2012, disebutkan bahwa tatanan masyarakat didominasi oleh laki-laki hingga 2 kali lipat jumlah perempuan padahal jumlah penduduk seimbang antara laki-laki dengan perempuan yaitu 51% untuk perempuan dan 49% untuk laki-laki.
            Hal semacam ini tidak lepas dari campur tangan media masa  yang selalu memojokan kaum perempuan, mulai dari berita, film, iklan, hingga di belakangnya layar. Padahal sadar tidak sadar, media masa-lah yang paling penting dalam proses sosialisai, sehingga akan sangat mustahil tercipta keadilan gender jika media masa di indonesia masih melakukan hal-hal semacam ini.
            Sebelum budaya ini dirubah hal yang pertama dirubah adalah politik, kemudian hukum, kemudian ekonomi yang terkait gender, dengan penataan ururtan yang jelas dan teratur barulah kemudian bisa dimungkinkan untuk merubah budaya ketidakadilan gender ini.
            Berkaitan dengan kasus diatas bisa dilihat dalam prespektif sosiologis sudut pandang teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional berkaitan erat dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional, yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi masing – masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori – teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim, serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony Giddens.
Di awal – awal kelahiran teori fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi ilmiah, dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia, hingga lahirlah ilmu sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam struturasi organisme. Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami ‘ketidakberesan’ atau ‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga akan terganggu.” Hal yang sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam masyarakat. Jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Dengan demikian ketidakadilan gender ini memang diperluan sebagai suatu sistem dalam sebuah struktur sosial yang apabila jia tidak ada akan merusak struktur sosial yang ada dimasyarakat. Terlepas dari pro dan kontra yang melekat pada kasus ini adalah bagaimana menyeimbangkan kedua komponen dalam ketidakadilan yang ada.


Daftar Pustaka :

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka WI

KEBIJAKAN & KEBAJIKAN PEMERINTAH NKRI

Secara ideal, lahirnya kebijakan publik merupakan upaya untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (publik) di suatu wilayah. Karena kebijakan publik merupakan upaya untuk menanggulangi masalah publik, maka sepatutnya kebijakan itu berorientasi pada kepentingan publik. Konsekwensinya, masalah dan alternatif solusi permasalahan  itu juga  diharapkan berasal dari publik, bukan sekedar cetusan pikiran atau bahkan imajinasi dari pejabat pembuat kebijakan.
Partisipasi masyarakat dianggap penting dalam penyusunan kebijakan, karena warga masyarakatlah yang paling memahami dan merasakan langsung kebutuhan dan masalah yang dihadapinya. Dengan bersandar pada kondisi riil di masyarakat, kebijakan  yang dibuat juga akan diterima oleh masyarakat secara wajar, sekaligus memiliki daya berlaku efektif.
Salah satu bentuk kebijakan publik di daerah adalah peraturan daerah (perda). Perda ini mengikat seluruh pihak yang berada di wilayah yurisdiksi suatu daerah. Daerah itu bisa berupa propinsi ataupun kabupaten/kota. Meski secara ideal, peraturan daerah sepatutnya melibatkan masyarakat, namun kenyataannya jauh berbeda. Selama ini, penyusunan perda lebih dianggap urusan pembuat kebijakan semata (pemerintah daerah dan DPRD).
Hampir tak ada peran masyarakat dalam proses itu. Masyarakat hanya menjadi pihak yang terkena dampak langsung dari penerapan perda itu, tanpa mengetahui apa dan bagaimana perda itu disusun dan disahkan. Semua proses berlangsung tertutup dan hanya menjadi urusan eksekutif dan legislatif daerah saja. Sementara warga tak diperhitungkan, selain karena dipinggirkan oleh kedua pihak ini, juga karena masyarakat tidak paham bahwa mereka memiliki hak untuk terlibat.

Harus diakui, sebagian besar masyarakat memang belum memahami hak-haknya, terutama dalam kebijakan publik, karena berpuluh tahun mereka dipinggirkan dalam pembuatan keputusan-keputusan public.

CITRA PEMERINTAH DIMATA RAKYAT

Membericarakan pemerintah yang baik berwibawa sama halnya dengan membicarakan pemimpin yang bertindak sebagai leader. Leader disini artinya dia yang terdepan dalam barisan untuk membuka jalan dan menghancurkan hambatan untuk anggotanya bukan seorang pemimpin yang bersifat layaknya bos yang hanya bisa memerintah dan duduk manis di belakang, ditandu, dan jalan-jalan.
            Ada pepatah mengatakan “lebih baik pasukan ribuan domba dengan pemimpin seekor singa, daripada pasukan ribuan singa yang dipimpin oleh seekor domba“. Pepatah tersebut bermaksut bahwa pemimpin sangat memperngaruhi keberlangsungan hidup atau nasib anggotanya (masyarakat).
            Meskipun masyarakat indonesia adalah masyakarat yang kuat, hebat, pintar, tapi jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang salah (lemah mental) jelas nasib masyakarat kita akan dipertanyakan layaknya pasukan singa yang hilang kekuatannya. begitu dengan sebaliknya, akan berbeda cerita jika pemimpin (wakil rakyat) adalah sosok yang baik, pro rakyat,nasionalisme yang artinya adalah sosok pemimpin yang bertanggung jawab dan berani mengorbakan dirinya demi kelompoknya maka kabar gembira yang akan dirasakan oleh rakyat.
            Intinya para pemimpin (eksekutif,legislatif,dan yudikatif) harus merubah mindset mereka. Meraka itu pelayan rakyat yang tugas pokok dan fungsinya melayani bukan dilayani. Meraka harus menyadari bahwa memegang tanggung jawab yang besar, status wakil rakyat itu adalah mencintai rakyat, bukan malah mencederai bahkan memeras rakyat dengan alasan demi kebaikan rakyat.

            Pemimpin itu adalah sosok yang pandai mencari jalan bukan yang pandai mencari alasan.memang benar didalam dunia politik sah-sah saja berjanji, bahakan berjanji akan membangun jembatan di area yang tidak ada sungainya. Nah, hal yang semacam ini yang harus dirubah.manajemen di pemerintahan kita yang dulunya berlandaskan kejujuran dan agama diganti dengan manajemen yang akuntabel dan transparan. Sehingga rakyat akan bisa lebih mengerti alasan dari kebijakan-kebijakan yang diambil wakil mereka dan rakyat pun akan membantu mensukseskannya.

KAMPANYE? APA KAPAN YA?


Dalam dunia politik memang sudah tidak asing lagi dengan istilah kampanye. Dalam hal ini kampanye adalah dimana semua yang diperlukan dan dibutuhkan akan dikerahkan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang ‘pro’ rakyat katanya. Akan tetapi sekarang banyak disalah artikan dan tidak diaplikasikan dengan benar. Kampanye adalah sesuatu proses atau alat dimana untuk menyuarakan apresiasi atau mensosialisasikan rencana visi misi pihak yang terkait disini merupakan kelompok masyarakat yang menjadi acuannya.
Perwakilan politik, sebagaimana kita ketahui, ini merupakan sistem yang menjalan kan fungsi legislatif, biasa disebut sebagai badan legislatif. Nama lain yang sering dipakai ialah Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” (untuk membicarakan masalah-masalah publik). Nama lain lagi adalah Parliement, suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merun- dingkan. Sebutan lain mengutamakan representasi atau keterwakilan anggota-ang-gotanya dan dinamakan People’s Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. Akan tetapi apa pun perbedaan dalam namanya dapat dipastikan bahwa badan ini merupakan symbol dari rakyat yang berdaulat.
Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menungkannya dalam undang- undang. Dalam menjalani peran legislatif dalam hal representasi, biasanya terdapat dua kategori yang dibedakan. Kategori pertama adalah perwakilan politik (political representation) dan perwakilan fungsional (functional representation). Kategori kedua menyangkut peran anggota parlementer sebagai trustee, dan perannya sebagai pengeman “mandat”. Perwakilan adalah konsep bahwa seorang atau suatu kelompok mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar. Biasanya anggota dewan ini umumnya mewakili rakyat melalui partai politik. Hal ini dinamakan perwakilan yang bersifat politik (political representation).
Sekalipun asas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan  meng-abaikan berbagai kepentingan masyarakat. Beberapa negara telah mencoba untuk mengatasi persoalan ini dengan mengikutsertakan wakil dari golongan-golongan yang dianggap memerlukan perlingdungan khusus. Misalnya India mengangkat beberapa wakil dari golongan Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah. Di parlemen Pakistan dalam masa Demokrasi Dasar disediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan.
Di Republik Prancis pada masa tahun 1946 didirikan suatu majelis khusus di luar badan legislatif, yaitu Majelis Ekonomi, yang berhak memperbincangkan masalah ekonomi namun badan ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan, hanya sebagai penasihat ekonomi. Anggotanya ditunjuk oleh pemerintah dari berbagai masam golongan ekonomi, sosial, profesi, budaya dan keahlian lain.
Di Italia asas functional representation diperkenalkan oleh Mussolini pada tahun 1926. Perwakilan didasarkan atas golongan ekonomi, dan untuk keperluan itu dibentuk 22 corporation yang masing-masing mewakili satu industri, misalnya industri tekstil. Setiap Corporations mencakup baik golongan pekerja maupun golongan management dalam bidang industri itu.Corporations ini memainkan peranan yang penting. Karena itu Italia  masa itu dinamakan negara Korporatif. Dengan jatunya Mussolini, eksperiment ini juga terhenti.
Di Indonesia sendiri pada masa Orde Baru memiliki perwakilan mandat, yang tergabung dalam MPR. Pada masa Orde Baru, perwakilan yang berasal dari pemilu hanya dibatasi oleh 3 partai, yaitu  Golkar, PPP, dan PDI. Perwakilan yang dimandatkan ialah pasukan ABRI, sehingga pada masa tersebut, keterkaitannya ABRI dengan pemerintah disebut sebagai dwifungsi militer. Tak hanya dalam MPR, ABRI pun masuk ke dalam sistem pemerintahan eksekutif, baik itu sebagai menteri  maupun sebagai gubernur. Selepas kejatuhan Presiden Soeharto, dwifungsi ABRI ini terhenti. Pada masa reformasi kini, Anggota MPR terdiri dari perwakilan setiap daerah (DPD) dan perwakilan dari partai politik yang ditunjuk oleh masyarakat dalam pemilihan umum.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dewasa ini perwakilan politik merupakan sistem perwakilan yang dianggap paling wajar. Di samping itu beberapa negara merasa bahwa asas functional or occupational representation perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingannya di samping sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan  professional ke dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum.
Sumber :

Budiardjo Miriam. 2008. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia

Kamis, 18 September 2014

Semua Berawal dari tugas dan Menjadi Hobbi

Gara-Gara Pati aku mengenal dia. . .

Keterangan lebih lanjut akan penulis post saat tanggal 21 bulan ini

Ditunggu saja ya guys